Budaya Korupsi, Antara Celah dan Godaan


Kita mengapresiasi kinerja lembaga anti rasuah di Indonesia (KPK), yang belakangan berhasil melakukan empat kali OTT. Tak tanggung - tanggung, hal itu terjadi dalam kurun waktu 10 hari.

Yang terbaru adalah penetapan Juliari Peter Batubara (Mensos) sebagai tersangka dugaan suap pengadaan bantuan sosial penanganan Covid-19, berupa paket sembako di Kementerian Sosial tahun 2020.

Nahasnya, korupsi seakan telah mendarah daging di Negara ini, terus menerus terjadi bahkan di masa-masa ekonomi sedang sulit akibat pandemi covid 19. Yang tentunya semakin membuat publik geram dengan tingkah laku para pejabat ini.

Organisasi transparency international menunjukkan Indeks persepsi korupsi Indonesia ada di skor 40, dengan menempati urutan 85 dari 180 negara, angka itu masih jauh dari dua negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia.

Mampukan negara ini bebas dari korupsi ? pertanyaan-pertanyaan itu sekaligus menjadi harapan, dan selalu menarik untuk dibahas.

Korupsi adalah budaya ?

Moh. Hatta pernah mengatakan bahwa korupsi di indonesia telah menjadi budaya, dengan melihat fenomena yang terjadi.

Tetapi jika budaya itu diwariskan, apakah nenek moyang kita mengajarkan korupsi ? atau suatu perbuatan serupa yang kemudian dalam bahasa modern disebut korupsi ?

Pada fase-fase kehidupan sosial di Indonesia, budaya menyogok bisa dilihat sejak fase animisme, yaitu dilakukan dalam bentuk pemberian sesajen atau persembahan kepada penguasa supranatural, yang dipandang punyai pengaruh yang besar. Dengan harapan penguasa supranatural dapat menenangkan, memperkuat posisi, dan melindungi kehidupan mereka.

Dengan demikian, perilaku menaklukan atau mengendalikan pihak yang menguasai melalui berbagai upaya pemberian, atau sesajen telah menjadi bagian dari nilai kehidupan pada masa animisme. Jika demikian pula, maka bentuk bentuk korupsi yang terjadi dewasa ini bisa saja dirujukan pada budaya tersebut, sehingga masalahnya nampak jadi kompleks dalam konteks perkembangan dunia modern dewasa ini.

Seorang sejarawan dan cendekiawan Indonesia bernama Onghokham telah mengkaji fenomena korupsi di Indonesia, yang menurutnya telah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan di indonesia melalui venality of power, dimana kedudukan diperjual belikan kepada orang atau kelompok yang sanggup membayar, untuk kemudian mereka diberi kedudukan yang punyai hak melakukan pemungutan pajak, yang tanpa kontrol hukum, sehingga penyimpangan yang terjadi (abuse of power) sulit diperbaiki karena lemahnya kontrol pemerintah kerajaan serta diamnya masyarakat.

Theodore M Smith dalam Korupsi, Tradisi, dan Perubahan (1971) mengatakan bahwa sampai tahun 1800, pada masa hindia belanda, korupsi adalah praktik umum. Hal itu terjadi karena rendahnya upah karyawan VOC yang dikombinasikan dengan lemahnya organisasi, pengawasan, serta kurangnya kontrol.

Karyawan VOC bisa menjadi kaya hanya dengan cara mencuri dari perusahaan. Akibat dari banyaknya korupsi itu, VOC ambruk pada tahun 1799.

Penyuapan juga telah dilakukan oleh orang-orang Eropa terutama pejabat VOC, sejak pertama mereka tiba di Nusantara untuk mencari rempah-rempah. Demi memaksakan monopoli rempah-rempah pada abad ke-17, VOC menggunakan penyuapan kepada penguasa setempat selain dengan menggunakan tindakan militernya, seperti pemusnahan rempah-rempah dalam pelayaran Hongi.

Hal ini menunjukan bahwa korupsi mempunyai sejarah yang cukup kuat dalam kehidupan masyarakat, khususnya di Indonesia. Kondisinya bisa semakin meningkat dan sistematis seiring dengan upaya pembangunan yang terus terjadi. Sehingga dikhawatirkan, akan banyak orang mengangap korupsi bukan lagi sebagai pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan.

Bagaimana korupsi bisa terjadi ?

Sejarah korupsi mungkin saja setua usia manusia, hanya saja kecanggihan dan kadar korupsinya berbeda pada setiap zaman. Seiring berjalannya waktu, dan perkembangan kemampuan manusia, tentu cara melakukan korupsi pun akan sangat variatif, tergantung pada bagaimana manusia melakukan korupsi tersebut.

Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya praktik korupsi.

Menurut Robert Klitgaard, dorongan tindak pidana korupsi akan terjadi ketika monopoli kekuatan oleh pimpinan, ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang. Di saat yang sama, tidak adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas.

Sedangkan menurut Ramirez Torres, Seseorang akan berhasrat melakukan korupsi jika ia tahu hasil yang didapat dari korupsi lebih besar dari hukuman yang didapat, dengan kemungkinan tertangkapnya juga kecil.

Jack Bologne menambahkan, ada empat akar penyebab korupsi. Berawal dari kepribadian seseorang, yakni Greedy atau keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya.
Kemudian Needs, sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah usai.
Dibarengi dengan Opportuniy, atau sistem yang memberi peluang untuk melakukan korupsi.
Keempat Exposes, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak memberi efek jera pelaku maupun orang lain.

Pada intinya, penyebab seseorang atau kelompok melakukan korupsi adalah karena hasrat ingin menjadi kaya begitu besar, sedangkan jalan pintas mengumpulkan pundi-pundi harta bisa diperoleh dengan cara korupsi terbuka, maka jadilah seseorang atau kelompok itu dapat melakukan korupsi.

Paradigma terhadap kekayaan yang salah seperti ini, akan menimbulkan cara yang salah dalam meraih kekayaan. Dengan demikian korupsi tidak akan habis, selama masih terdapat kesalahan tentang cara memandang kekayaan.

Well, selamat hari anti korupsi sedunia, budayakan CUCI TANGAN sebelum makan. Hehehee

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tolak IMB di Pulau Reklamasi, PMII : Apa Landasan Gubernur DKI ?

Media Sosial seperti Demokrasi Bagi Rakyat Indonesia

5 Bahaya Merokok yang Menakutkan bagi Kesehatan